Nasional, buanainformasi.tv - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai semester I-2024 sudah defisit Rp 77,3 triliun. Realisasi itu setara dengan 0,34% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Total postur dari APBN 2024 semester I adalah defisit Rp 77,3 triliun. Tahun lalu semester I masih surplus Rp 152,3 triliun, tahun ini semester I kita sudah mengalami defisit Rp 77,3 triliun," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Senin (8/7/2024).
Defisit APBN ini berarti pendapatan lebih kecil dibanding jumlah pengeluaran pemerintah. Sampai Juni 2024, pendapatan negara terkumpul Rp 1.320,7 triliun atau turun 6,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Kalau kita lihat pendapatan negara yang mencapai Rp 1.320,7 triliun, itu adalah 47,1% dari target tahun ini Rp 2.802,3 triliun. Pendapatan negara semester I ini, dibandingkan semester I tahun lalu yang Rp 1.407,9 triliun itu berarti mengalami penurunan 6,2%," beber Sri Mulyani.
Penurunan pendapatan negara paling besar terjadi dari komponen penerimaan pajak yang baru terkumpul Rp 893,8 triliun, turun 7,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, penerimaan dari kepabeanan dan cukai terkumpul Rp 134,2 triliun atau turun 0,9% dan PNBP terkumpul 288,4 triliun atau turun 4,5%.
"Jadi seluruh komponen penerimaan perpajakan dan PNBP mengalami kontraksi," jelas Sri Mulyani.
Saat pendapatan negara turun, belanja negara telah mencapai Rp 1.398 triliun atau melonjak 11,3% sampai akhir Juni 2024. Belanja itu terdiri dari belanja K/L, belanja non K/L dan transfer ke daerah.
"Ini adalah pertumbuhan belanja yang cukup tinggi, double digit 11,3%. Tahun lalu semester I kita belanja Rp 1.255,7 triliun atau hanya 40,3%," beber Sri Mulyani.
Sri Mulyani memperkirakan subsidi energi dalam APBN 2024 akan naik. Hal ini melihat beberapa parameter perubahan mulai dari harga minyak dunia, lifting minyak dan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS).
"Subsidi energi dalam hal ini diperkirakan akan mengalami kenaikan dengan beberapa parameter perubahan (yaitu) harga minyak, maupun dari sisi lifting dan nilai tukar," kata Sri Mulyani.
Saat harga minyak dunia dan dolar AS naik, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif BBM dan listrik agar momentum pertumbuhan dan daya beli masyarakat terjaga. Hal ini menyebabkan APBN harus menanggung selisih harganya ke PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).
"Sampai hari ini masyarakat masih menikmati harga subsidi yang relatif stabil, meskipun terjadi perubahan parameter. Ini menyebabkan APBN yang harus mengemban bebannya," ucapnya.
Sampai semester I-2024, realisasi volume penyaluran BBM subsidi telah mencapai 7,16 juta atau turun tipis 0,05% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, realisasi LPG 3 kg dan listrik bersubsidi masing-masing naik yakni mencapai 3,36 juta volume dan 40,6 juta pelanggan.
Sri Mulyani memperkirakan kenaikan subsidi dan kompensasi energi akibat perubahan beberapa parameter di atas baru akan tercermin pada semester II-2024.
"Untuk subsidi dan kompensasi energi, fluktuasi harga ICP, depresiasi nilai tukar, serta kenaikan volume LPG dan listrik bersubsidi, diperkirakan akan tercermin pada semester II," ucap Sri Mulyani.
Defisit APBN 2024 diperkirakan akan mencapai Rp 609,7 triliun atau 2,70% terhadap PDB, lebih tinggi dari target awal Rp 522,8 triliun atau 2,29% PDB.
Sri Mulyani mengatakan kenaikan defisit itu terjadi karena kombinasi dari pendapatan negara yang mengalami beberapa koreksi atau tidak mencapai target. Di sisi lain belanja negara mengalami kenaikan.
"Defisit total mencapai Rp 609,7 triliun, ini artinya terjadi kenaikan defisit dari 2,29% ke 2,70% dari GDP," kata Sri Mulyani. (**/red)