Nasional, buanainformasi.tv - Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia masih mengimpor listrik dari negara tetangga, Malaysia, untuk mendukung sejumlah daerah. Bahkan, jumlahnya pun terbilang cukup besar.
Mengutip dari Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2023, yang dirilis Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dirilis 7 Juni 2024, impor listrik RI dari Malaysia mencapai 892,91 Giga Watt hour (GWh). Angka ini meningkat hampir 12% dari tahun sebelumnya yang mencapai 797,38 GWh.
Dalam laporan tersebut, tercatat selama 10 tahun terakhir Indonesia masih bergantung pada impor listrik berbasis air atau Hydro Power Plan (PP) dari Negara Jiran tersebut. Pasokan listrik berasal dari perusahaan listrik Malaysia yaitu Sarawak Electricity Supply Corporation (SESCO), anak usaha Sarawak Energy Berhad. Adapun Impor ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kalimantan Barat.
Tercatat pada tahun 2013, impor listrik RI dari Malaysia hanya sebesar 3,03 GWh. Namun seiring berjalannya waktu, angka tersebut terus meningkat hingga pada 2019 jumlahnya tembus 1.683,12 GWh. Lebih lanjut, sejak tahun 2019 itu lah mulai terjadi tren penurunan impor hingga pada 2022 lalu angkanya turun menjadi mencapai 797,38 GWh.
Merespons kondisi ini, Direktur Manajemen Pembangkitan PT PLN (Persero) Adi Lumakso menjelaskan, penyebab dari masih dibutuhkan impor dari Malaysia ke Kalimantan Barat ialah belum tercukupi interkoneksi sarana dan prasarana kelistrikan antara Kalimantan Timur, Tengah, Barat, dan Selatan.
"Memang harapannya ada interkoneksi dari Kaltim, Kalteng, Kalsel, Kalbar, itu harapannya seperti itu. Di timur (utara) ada potensi hidro karena ada (PLTA) Kayan 9 GWh atau 11 GWh, itu harapan kita nanti interkoneksi," kata Adi, ditemui di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Adi mengatakan, saat ini pihaknya tengah dalam proses untuk membangun interkoneksi tersebut. Hal ini selaras dengan upaya Indonesia menggenjot pembangunan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) dan mewujudkan Indonesia Net Zero Emission (NZE) atau nol karbon.
"Bertahap dan memang sekarang ini pembangunan arahnya pembangkit itu berbasis renewable yang semuanya itu pasti memerlukan potensi alam sekitar. Kebetulan Kalbar itu potensi airnya lokasinya jauh jadi kita menunggu transmisi," ujarnya.
Di samping itu, menyangkut aktivitas impor listrik dengan Malaysia sendiri menurutnya telah terjalin kesepakatan tertentu sehingga tetap sampai saat ini impor akan berjalan sesuai peraturan. Nanti, seiring dengan rampungnya transmisi listrik di sana, tidak menutup kemungkinan Indonesia yang mengekspor listrik ke sana.
"Kalau impor kan biasa, karena memang kerja sama antara Malaysia dan Indonesia dan itu nanti ada peraturannya, ketentuannya harus ditempuh. Nanti kapan-kapa kita juga yang nanti ekspor ke mereka, kita lagi transmisi," jelas dia. (**/red)