Nasional, Buana Informasi TV- Puluhan massa yang mengatasnamakan Komite Aksi Penyelamat Lingkungan menggeruduk kantor Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel).
Massa menuntut Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni untuk menutup PT RMK Energy yang dinilai bertentangan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Sumsel.
Bukan itu saja, massa juga meminta Agus Fatoni bertindak tegas terhadap pelanggaran tata ruang yang dilakukan PT RMK Energy.
Koordinator Aksi, Andreas OP mengatakan, pelanggaran lingkungan dilakukan RMKE karena aktifitas pelabuhannya.
Permasalahan aktivitas operasional RMKE bermula dari aduan warga Selat Punai, Kelurahan Pulokerto, Gandus, Kota Palembang atas pencemaran debu batu bara dari aktivitas pelabuhan. Hal itu telah dilaporkan ke Polda Sumsel sejak 2021 lalu.
"Berkali-kali kami demo, dijanjikan akan ditindaklanjuti, ketika pulang tutup meja selesai. Jadi jangan hanya bilang kami, Pemprov akan berbuat, tapi action (tindakan tegas)," ujarnya Jumat (17/11/2023).
Saat ini, kata dia, permasalahan lingkungan ini sudah diupayakan oleh RMKE untuk dibenahi, kendati kemudian muncul permasalahan baru terkait tata ruang. Di mana dalam sanksi Kementerian LHK No.SK.9253/MENLHK-PHLHK/PPSALHK/GKM.0/9/2023 disebutkan RMKE hanya punya waktu 90 hari.
"Pada akhirnya kami meminta Pj Gubernur untuk memanggil Pj Bupati Muara Enim dan Pj Wali Kota Palembang untuk duduk bersama, bersepakat untuk menutup secara permanen operasional perusahaan ini," katanya.
Lanjutnya, Pemprov Sumsel harus bertanggung jawab terhadap upaya penegakan hukum terkait pelanggaran yang dilakukan RMKE. Baik melakukan gugatan pidana dan perdata atas pelanggaran yang telah dilakukan RMKE.
"Kami akan mengawal ini sampai tuntutan dipenuhi, karena yang paling dirugikan dari aktivitas RMKE ini adalah rakyat. Sementara perusahaan diuntungkan karena seenaknya mengeruk tanpa mematuhi aturan," ungkapnya.
Berdirinya pelabuhan di kawasan Muara Belida, Muara Enim dianggap menabrak Perda 13/2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Muara Enim 2018-2038. Dan Perda 11/2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Selatan 2016-2036.
"Sesuai dengan item yang tertuang dalam sanksi Kementerian LHK beberapa waktu lalu. Aktivitas perusahaan ini sudah bertentangan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Sumsel," jelasnya.
Belum lagi mengenai polemik advice planning yang dikeluarkan Pemkab Muara Enim 2019 lalu. Menurutnya, advice planning itu menjadi rujukan untuk pengurusan izin lebih lanjut, namun diduga dijadikan landasan atau izin resmi.
"Hal ini yang kami sesalkan, sehingga seharusnya segera dibentuk tim (oleh Pemprov Sumsel), untuk melakukan audit lingkungan hidup dan melakukan pengawasan di perusahaan tersebut," ungkapnya.
Asisten III Bidang Administrasi dan Umum, Kurniawan yang menemui massa aksi mengatakan, polemik izin RMKE terjadi lantaran perubahan tapal batas wilayah. Yang sebelumnya di Kota Palembang, kini seluruhnya masuk ke Kabupaten Muara Enim. Sehingga, perusahaan hanya mengajukan izin ke Pemkab Muara Enim saja.
"Dan saat operasional, terjadi gangguan debu terhadap warga Kota Palembang. Kita akan kaji lagi seperti apa kerangka aturannya," ujarnya.
Dijelaskannya, RMKE sudah diberi sanksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan diminta melengkapi perizinan atas operasional yang terdampak di dua wilayah. Pemprov Sumsel juga sudah menurunkan tim dari Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) untuk memantau berkala operasional perusahaan agar tidak melabrak aturan.
Terkait perusahaan yang sudah beroperasi kembali, Kurniawan menerangkan, jika hal itu menjadi wewenang dari KLHK.
"Nanti kami cek. Apakah memang perusahaan sudah mendapat izin beroperasi kembali atau seperti apa. Pasti ada pertimbangan dari KLHK untuk menyetop ataupun meneruskan operasional perusahaan," ujar dia.(**/red)