Nasional, Buana Informasi TV- Lima terdakwa dugaan korupsi akuisisi PT Satria Bahana Sarana (SBS) oleh PT Bukit Asam Persero Tbk (PTBA melalui anak perusahaab PT Bukti Multi Investama (BMI) menjalani sidang perdana. Kelimanya didakwa korupsi Rp 162 miliar.
Kelima terdakwa yang duduk di kursi pesakitan yakni mantan Direktur Pengembangan Usaha PT Bukit Asam (PTBA) Tbk Anung Dwi Prasetya, Ketua Tim Akuisisi Penambangan PTBA Saiful Islam, Tjahyono Imawan pemilik PT Satria Bahana Sarana (SBS).
Milawarma Mantan Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk periode tahun 2011-2016 dan Nurtima Tobing Wakil Ketua Tim Akuisisi Saham PT SBS.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor PN Palembang, Jumat (17/11) JPU menilai bahwa para terdakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 162 miliar akibat dari proses akuisisi PT SBS melalui PT BMI.
Selain itu, JPU mengatakan terdakwa Milawarma selaku Dirut melalui terdakwa Anung Dwi Prasetya tidak membuat studi kelayakan untuk menentukan pengembangan bisnis batubara.
"Dalam rencana kerja perusahaan tahun 2014, terdakwa Milawarma tidak mencantumkan secara spesifik adanya rencana akuisisi PT SBS melalui PT BMI, sehingga menyalahi peraturan sehingga merugikan keuangan negara mencapai Rp 162 miliar," kata JPU Kejari Muara Enim dalam dakwaanya.
Kelimanya dikenakan pasal Pasal 2 ayat (1) junto Pasal 18 ayat (1) huruf B Undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Subsidair : Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) huruf B.
Setelah mendengarkan pembacaan dakwaan dari JPU, masing-masing terdakwa melalui kuasa hukumnya mengajukan nota keberatan atau eksepsi di sidang selanjutnya.
Sementara itu, Penasihat Hukum keempat terdakwa, yakni Anung Dwi Prasetya, Syaiful Islam, Milwarma dan Nurtima Tobing, dari Kantor Hukum Soesilo Aribowo, Gunadi Wibakso dan Nila Pradjna Paramita usai sidang mengatakan jika pihaknya telah mendengarkan dakwaan JPU Kejari Muara Enim, dan semua yang didakwakan oleh JPU tidaklah benar.
"Kami akan ajukan eksepsi pada sidang minggu depan. karena kami menilai dakwaan JPU kabur, tidak jelas dan tidak cermat," katanya.
Tadi dalam dakwaan disebutkan juga jika klien kami tidak melakukan kajian sebelum proses akuisisi."Padahal itu sudah dilakukan, dikaji secara internal maupun eksternal,"ujarnya.
Menurutnya jika upaya akuisisi PT SBS oleh PTBA melalui PT BMI telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internal perusahaan.
"Jadi tidak ada pelanggaran hukum atau niat jahat yang dilakukan oleh jajaran Direksi maupun tim akuisisi jasa pertambangan, dalam proses akuisisi," katanya.
Kemudian, Keputusan untuk melakukan akuisisi terhadap PT SBS sebagai perusahaan kontraktor pertambangan adalah pilihan yang tepat, karena Biaya produksi terbesar yang dikeluarkan oleh PTBA adalah biaya transportasi dan biaya jasa kontraktor pertambangan.
Dengan adanya akuisisi tersebut,sambungnya, diharapkan PTBA mampu menekan ketergantungan terhadap perusahaan jasa kontraktor pertambangan lain, sehingga bisa melakukan penghematan biaya operasional yang cukup signifikan.
"Itu merupakan keputusan bisnis untuk melakukan penghematan biaya produksi, dan murni merupakan keputusan bisnis yang dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rules (BJR),"ungkapnya.
Justru dengan adanya akuisisi itu, maka PTBA mendapatkan keuntungan dalam hal menghemat biaya jasa kontraktor."Jadi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 162 Miliar seperti dalam dakwaan JPU itu di mana,"katanya.
Kemudian, menurutnya untuk perhitungan nilai kerugian negara, juga harus melalui BPK, namun hal tersebut tidak dilakukan oleh penyidik.
"Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 (SEMA 4/2016) yang berbunyi : "instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti BPKP/Inspektorat/ Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, namun tidak berwenang menyatakan atau mendeclare adanya kerugian keuangan negara.(**/red)