Tanggamus, Buana Informasi TV - Bukan hal baru lagi jika agenda besar 5 (lima) tahunan, yakni pemilihan umum (Pemilu) menjadi lorong satu-satunya bagi setiap orang untuk bermimpi bisa melenggang sebagai wakil rakyat alias jadi legislator di gedung DPR, DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, bahkan menjadi senator di Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kompetisi calon legislatif (caleg) ini pun bagian dari momentum untuk Pemilu tahun 2019 kali ini. Terlebih kehadiran banyak partai politik (parpol), telah membuka sebesar-besarnya peluang bagi setiap warga negara untuk dapat menjadi calon wakil rakyat.
Kesempatan tersebutlah yang membuat harapan besar bagi banyak orang untuk memiliki kesamaan hak bisa duduk di kursi kekuasaan pada tingkatan yang diinginkan.
Sementara, ramainya orang menjadi caleg ini tentu memicu banyak pikiran dan pandangan yang menyebutkan sisi mana enaknya menjadi wakil rakyat, sehingga memacu orang berkompetisi memperebutkan kursi empuk yang disediakan.
Konon, salah satu pikiran mendasar orang yang bermimpi menjadi wakil rakyat, yakni tergiur dengan gaji yang besar, meski tidak semua tingkatan sama, dimana gaji wakil rakyat di DPR RI, DPD tentu lebih besar di atas DPRD Provinsi atau DPRD kabupaten/kota.
Belum lagi kerap dihembuskannya soal kenaikan penghasilan bahwa gaji anggota dewan yang terhormat pada semua tingkatan bisa mencapai tiga kali lipat. Kondisi ini pula yang membuat ketertarikan orang merasakan bisa jadi wakil rakyat.
Terlepas dari itu, bisa duduk pada tingkat bawah saja sudah memuaskan, terlebih ada pameo yang menyebutkan wakil rakyat itu hanya datang, duduk, diam bisa membuat seseorang yang merasakan jadi orang kaya baru alias OKB.
“Jadi wakil rakyat itu adalah sebuah hak setiap orang, namun jangan berorientasi hanya dikarenakan gaji yang besar tapi lebih kepada amanah untuk memenuhi harapan masyarakat atau konstituen,” ungkap Budi Hartono ketua Aliansi Jurnalistik online Indonesia ( AJOI )kamis 16 Nopember 2023.
Menurutnya, orang bisa berpikiran menjadi wakil rakyat adalah sebuah kesempatan karena hanya terbersitnya sepengal saja, yakni gaji, tunjangan ataupun insentif yang diasumsikan besar.
Tapi tuntutan secara kepartaian dan konstituen serta integritas selaku wakil rakyat kerap tidak dipikirkan banyak orang.
“Ya, kalau pikiran hanya gaji, anggota dewan selalu dicap minor kinerjanya,” tukasnya.
Budi berharap, paradigma penilaian kinerja dewan yang selalu santai harus dibuang secara total, setidaknya kata dia sudah saatnya para caleg membuka wawasan dan cara pikir masyarakat, bahwa kinerja lembaga legislatif tidak lain memperjuangkan aspirasi dari amanah yang dipercayakan. (**/red)