Tokoh adat Lampung Utara angkat bicara terkait perampasan dan penyerobotan lahan warga oleh oknum TNI AL

Lampung Utara,buanainformasi.tv----Tokoh Adat Desa Penagan Ratu, Kecamatan Abung Timur, Lampung Utara tidak hanya paham letak tanah masyarakat, juga merupakan saksi hidup dugaan kekerasan dan ancaman oleh TNI-Angkatan laut wilayah Lampung pada tahun 1976, pada peristiwa perebutan tanah masyarakat Lampung Utara yang sampai saat ini juga belum menemui titik terang, Selasa (26/09/2023)

Khotmansyah dengan Gelar Suttan Pesawik Ratu, adalah Tokoh Adat Desa Penagan Ratu yang juga merupakan putra dari Akim Jenjem Marga (Kepala Desa Penagan Ratu periode 1971-1979), menjelaskan dengan rinci luas tanah masyarakat yang kini diduga telah dikuasai oleh oknum TNI-AL Wilayah Lampung yang ada di Lampung Utara selama puluhan tahun terakhir, khususnya Kecamatan Abung Timur

Sebagai saksi hidup atas persebutan tanah masyarakat, Khotmansyah sangat prihatin dengan permaslahan yang tidak kunjung menemui titik terang ini. Bahkan sejak ayahnya (Akim Jenjem Marga) masih menjabat sebagai Kades setempat, permasalahan ini sudah terjadi. 

"Tanah ulayat Desa Penagan Ratu jumlahnya 5.040 hektare, terbagi tiga yaitu 1540 hektare ada permaslahannya dengan angkatan udara tapi Alhamdulillah sudah selesai. Ini yang jadi permasalahan dengan PT.Pangan yang juga dibawah KKO (TNI-AL). Jadi tanah ulayat yang diduduki oleh Penagan Jaya dan Gedung Jaya jumlahnya 1.000 hektare itu wilayahnya dari Way Tabak, Way Tulung Kakan sampai ke Way Merah," jelasnya.

Masih Khotmansyah "adapun seluas 2.500 hektare ini dari Way Tabak, Way Merah, sampai ke perbatasan Muara Sungkai Way Tulung Mas namanya itu adalah milik ulayat adat anek (Desa) Penagan Ratu, termasuk di dalamnya ada tanah kelaurag Joni Erix, dan disini hitungannya ada 1364 hektare tanah maayrakat yang dikuasai KKO itu," ucapnya.

Pada tahun 1971 pada saat ayahnya (Akim Jenjemarga) terpilih menjadi Kades setempat. Seiring berjalannya waktu pada 01 Oktober 1975 Akim Jenjemarga mengumpulkan masyarakat adat Desa Penagan Ratu untuk berkumpul di kediaman Menteri yang bernama May.Jend Alamsyah untuk membahas permasalahan tanah masyarakat yang dikuasai oleh KKO (TNI-AL). 

"Musyawarah dihadiri oleh tokoh adat, tokoh masyarakat setempat dan bersepakat untuk diserahkan permasalahan ini kepada Kepala Desa yaitu bapak saya. Saya saat itu jadi supir pribadi ayah saya jadi saya tahu persis kejadian di lapangan," jelasnya.

Tidak hanya tahu persis letak tanah masyarakat, Khotmansyah ternyata juga merupakan saksi hidup kekerasan dan ancaman yang terjadi pada tahun 1976 yang dialami oleh masyarakat dan dilakukan oleh pihak TNI-AL. Pada saat itu, bahkan juga terjadi pembakaran pemukiman warga oleh anggota TNI-AL dan ancaman senjata tajam terus terjadi dan menghantui masyarakat. 

"Dulu di dusun Dorowati namanya, ada sebanyak 36 rumah warga dibakar oleh KKO bahkan warga juga diusir, bahkan bapak saya juga diancam waktu itu pakai senjata oleh Nasution anggota KKO sampai tidak bisa bangun dari tempat duduk. Di zaman itu KKO tidak ada rasa belas kasihan bahkan siapa saja yang bagi mereka salah maka dipukul dan dikarungi. Contoh mereka mengklaim tanah-tanah itu sampai Kali Way Rarem. Setiap panen mereka selalu meminta kepada masyarakat. Bahkan dulu kayu atau hail tanam di tanah mereka sendiri saja diambil lagi oleh KKO," jelasnya.

"Dulu juga bapak saya dilengserkan karena ada permasalahan, yaitu ada yang mau mengklaim tanah seluas 200 hektare 300 hektare, tapi bapak saya enggak mau karena memang bukan milik mereka, pada saat itu kalau tidak ada tanda tangan bapak saya maka tidak sah," sambungnya. 

Sebagai Tokoh Adat setempat, Khotmansyah sangat merasa prihatin dengan apa yang telah menimpa masyarakat samapi puluhan tahun ini belum juga menemui titik terang. "Mohon betul kembalikan tanah masyarakat, kepada Kimal tolong kembalikan, kepada bapak Presiden Ir.Joko Widodo dengarlah masyarakat dibawah ini bantulah mereka, mereka memeperuangkan hak nya tapi sampai sekarang tidak juga dikembalikan," harapnya.

Bahkan Khotmansyah berpendapat, permasalahan yang terjadi di Lampung Utara hampir sama yang dialami oleh masyarakat melayu di Batam (Rempang) dimana hak mereka diambil alih, tapi sampai titi darah penghabisan masyarakat akan terus berjuang, dan kali ini bantuan Pemerintah juga amat dibutuhkan. (Red/*)i)