Saksi Mahkota Sebut BPK Terima Rp 40 M dari Proyek BTS Kominfo

Jakarta, Buana Informasi TV - Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan, mengungkap alasan mantan Dirut Bakti Kominfo Anang Achmad Latif memerintahkan untuk memberikan uang Rp 40 miliar ke perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Irwan mengatakan hal itu dilakukan karena Anang sudah merasa proyek BTS 4G Kominfo bermasalah yang akan berujung pada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hal ini diungkap Irwan saat menjadi saksi mahkota di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (26/9/2023). Adapun saksi mahkota adalah seorang terdakwa yang bersaksi untuk terdakwa lain.

Duduk sebagai terdakwa eks Menkominfo Johnny G Plate, eks Dirut Bakti Kominfo Anang Achmad Latif, dan mantan Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia (Hudev UI) Yohan Suryanto.
Mulanya, jaksa penuntut umum (JPU) bertanya kepada Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama, yang juga menjadi saksi mahkota. Jaksa bertanya apa tujuan Anang memerintahkannya untuk memberikan uang Rp 40 miliar ke perwakilan BPK.

Windi mengaku tidak tahu alasannya. Tak puas atas jawaban itu, jaksa kembali mencecar Windi soal apakah perintah itu agar BPK mengeluarkan wajar tanpa pengecualian (WTP/unqualified opinion), wajar dengan pengecualian (WDP/qualified opinion), atau tidak memberikan pendapat (TMT/disclaimer opinion). Windi masih dengan jawaban yang sama yakni tidak tahu.

"Ini bisa dijawab oleh saksi Windi. Untuk penyerahan uang ke BPK RI dalam hal ini apakah Pak Anang Latif itu menyampaikan apa tujuan atau kepentingan uang Rp 40 miliar untuk diserahkan ke BPK?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu, Pak," jawab Windi.
"Pak Windi, pada saat mendapat perintah dari Anang tahu tidak apakah ini untuk mengamankan WDP, WTP, atau disclaimer?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu," jawab Windi.

Masih tak puas, jaksa pun beralih bertanya ke Irwan Hermawan. Irwan rupanya memiliki jawaban yang berbeda.

Irwan mengungkap ada sesuatu yang disampaikan Anang sebelum memerintahkan uang Rp 40 miliar diberikan ke perwakilan BPK. Irwan menyebutkan Anang sudah merasa proyek BTS yang bermasalah ini akan berujung pada audit BPK.

"Tidak terlalu detail saya tahu, yang jelas Pak Anang sedikit ada penyampaian bahwa ini berat dan sebagainya karena masalah BTS ini," kata Irwan.
"Ini berat karena ada masalah di BTS?" tanya jaksa.
"Iya," jawab Irwan.

Irwan tidak menjelaskan gamblang apakah saat itu BPK sudah mengungkap temuan terkait kasus BTS Kominfo. Anang, menurut Irwan, hanya mengatakan audit BPK akan sangat berat, belum lagi ditambah adanya tekanan-tekanan yang datang silih berganti.

"Apakah Pak Anang menyampaikan bahwa ada temuan dari BPK mengenai audit terhadap proyek BTS?" tanya jaksa.
"Tidak terlalu detail apakah temuan atau tidak, namun...," kata Irwan.
"Coba Saudara ingat, saya bantu Saudara ingat, coba ingat, yang disampaikan Pak Anang?" timpal jaksa.
"Pada saat karena BTS ini telat, jadi mungkin audit BPK itu dirasa berat dan juga terkait tadi ada tekanan dari Edward Hutahean yang juga mengatasnamakan BPK begitu," kata Irwan.
"Ada audit itu terasa berat memang waktu itu temuannya sudah didapatkan oleh BPK RI?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu," jawab Irwan.

Windi Purnama mengungkap uang proyek penyediaan BTS 4G Kominfo juga mengalir ke seseorang bernama Sadikin selaku perwakilan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Windi mengatakan BPK itu menerima uang senilai Rp 40 miliar.

Mulanya, dia mengaku diminta Anang untuk menyerahkan uang kepada perwakilan BPK bernama Sadikin. Perintah Anang itu melalui grup aplikasi perpesanan dengan nama 'Signal'.

"Nomor dari Pak Anang seseorang atas nama Sadikin. Nomor teleponnya diberikan oleh Pak Anang lewat signal," kata Windi saat sidang.
"Sodikin apa Sadikin?" tanya hakim Fahzal Hendri.
"Sadikin," kata Windi.
"Berapa?" tanya hakim.
"Itu saya tanya untuk siapa, untuk BPK, Yang Mulia," kata Windi.
"BPK atau PPK? Kalau PPK Pejabat Pembuat Komitmen. Kalau BPK Badan Pemeriksa Keuangan. Yang mana?" tanya hakim lagi.
"Badan Pemeriksa Keuangan, Yang Mulia," kata Windi.

Uang itu dikirim atas perintah Anang. Windi menyerahkan uang itu dengan mengantarnya secara langsung.

"Dikirimlah ke orang yang bernama Sadikin itu?" tanya hakim.
"Dikirim, Yang Mulia," jawab Windi.
"Bagaimana cara kirimnya?" tanya hakim lagi.
"Saya serahkan, antar langsung," jawab Windi.

Windi mengatakan menyerahkan uang itu di salah satu parkiran hotel mewah di Jakarta senilai Rp 40 miliar. Sontak, hal itu membuat hakim kaget hingga menggebrak meja.

"Di mana ketemunya sama Sadikin itu?" tanya hakim
"Ketemunya di Hotel Grand Hyatt," jawab Windi.
"Hotel mewah itu, Pak?" tanya hakim.
"Di parkirannya, Pak," jawab Windi.
"Oh, parkirannya. Tidak sampai masuk ke hotel. Siapa yang menerima?" tanya hakim.
"Seseorang yang bernama Sadikin," jawab Windi.
"Berapa, Pak?" tanya hakim.
"Rp 40 miliar," ungkapnya.
"Ya Allah," respons hakim sampai menggebrak meja.

Windi mengatakan uang itu diserahkan dalam bentuk pecahan mata uang asing. Uang itu dibawa menggunakan koper.

"Rp 40 miliar diserahkan di parkiran? Uang apa itu? Uang rupiah atau dolar AS, dolar Singapura, atau euro?" tanya hakim.
"Uang asing, Pak. Saya lupa detailnya, mungkin gabungan dolar AS dan dolar Singapura," jawab Windi.
"Pakai apa bawanya, Pak?" tanya hakim.
"Pakai koper," jawab Windi.

Windi mengaku turut ditemani sopirnya saat menyerahkan uang tersebut. Lalu uang itu, menurut Windi, diserahkan kepada seseorang bernama Sadikin. (**/red)