Nasional, Buana Informasi TV - Muncul wacana Prabowo Subianto akan menambah jumlah kementerian usai resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun, UU Kementerian Negara perlu disesuaikan agar ada penambahan jumlah kementerian dan lembaga di kabinet Prabowo.
Partai Gerindra menganggap wajar jika nantinya kabinet Prabowo-Gibran melibatkan banyak pihak.
"Kalau gemuk dalam konteks fisik seorang per orang, itu kan tidak sehat. Tapi dalam konteks negara, jumlah yang banyak itu artinya besar, buat saya bagus. Negara kita kan negara besar. Tantangan kita besar, target target kita besar," kata Waketum Partai Gerindra, Habiburokhman, kepada wartawan di kompleks gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (6/5).
"Wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang, berkumpul dalam pemerintahan sehingga jadi besar," imbuhnya.
Habiburokhman menepis pandangan bahwa penambahan pos menteri untuk mengakomodasi dukungan politik. Dia pun menyerahkan kepada Prabowo ihwal wacana penambahan pos kementerian itu.
"Ya itu lah kesalahan cara berpikir, dan nggak apa-apa, jadi masukan bagi kami. Jangan sampai hanya sekadar untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan politik," kata Habiburokhman.
"Masukan dari masyarakat kami terima, tapi itu tadi, kewenangan membentuk kabinet, formasinya seperti apa, jumlahnya berapa, secara substansi, baik konstitusi itu ada di Pak Prabowo, sebagai president elected," sambungnya.
Wakil Ketua Komisi II Sebut Harus Ada Revisi
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi PDIP, Junimart Girsang menyoroti isu penambahan kementerian saat pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming nanti. Junimart mengatakan sesuai dengan aturan yang berlaku jumlah kementerian paling banyak berjumlah 34.
"Sesuai UU 39/2008 tentang Kementerian Negara, telah diatur mengenai jumlah bidang Kementerian pada pasal 12,13 dan 14 disebutkan paling banyak 34 Kementerian dengan rincian 4 Menko, 30 Menteri Bidang," kata Junimart kepada wartawan, Jumat (10/5/2024).
Junimart menuturkan perlu ada dasar dan alasan kebutuhan apabila ada penambahan kementerian. Politikus PDIP ini menyebut pertambahan kementerian diharuskan untuk percepatan kerja pemerintah demi kepentingan rakyat.
"Rencana adanya penambahan kursi kabinet Prabowo-Gibran tentu harus ada dasar dan alasan kebutuhan yang memang keharusan untuk kepentingan percepatan kerja-kerja kebutuhan Pemerintahan bagi rakyat, bukan karena kepentingan politik atau bagi-bagi kekuasaan yang berdampak kepada pemborosan anggaran," ujarnya.
Dia menyampaikan penambahan kementerian juga harus mengubah nomenklatur. Selain itu juga harus dilakukan revisi Undang-Undang (UU) tentang Kementerian Negara.
"Penambahan kementerian untuk merubah nomenklatur kementerian harus merevisi UU 39/2008," imbuhnya.
Gerindra Sebut Revisi Dimungkinkan
Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani menilai ada peluang Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara direvisi.Ia mengatakan UU tersebut dapat disesuaikan dan tak terpaku dengan jumlah pos kementerian.
"Begini ya, UU tentang Kementerian itu kan di satu sisi membatasi bagi presiden terpilih. Sementara presiden terpilih dalam 5 tahun kepemimpinan yang akan datang punya tantangan dan policy yang berbeda, apakah nomenklaturnya akan diubah, akan ditambah atau digantikan, itu saya tidak tahu," ujar Muzani di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Minggu (12/5/2024).
Muzani mengungkit era Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengalami perubahan nomenklatur pemerintahan. Namun dia belum mengetahui seperti apa perubahan era Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dengan presiden terpilih Prabowo nantinya.
"Masalahnya nomenklatur dari pemerintahan itu selalu berbeda dan tantangan programnya juga berbeda, itu yang menyebabkan saya kira hampir di setiap kementerian dulu dari Ibu Mega ke Pak SBY ada penambahan atau perubahan. Dari pak SBY ke Pak Jokowi juga ada perubahan, dan apakah dari Pak Jokowi ke Pak Prabowo ada perubahan, itu yang saya belum," ujar Muzani.
Muzani lantas mengatakan ada kemungkinan UU Kementerian Negara direvisi. Menurutnya, UU itu bersifat fleksibel.
"Tetapi karena setiap presiden punya masalah dan tantangan yang berbeda. Itu yang kemudian menurut saya UU Kementerian itu bersifat fleksibel tidak terpaku pada jumlah dan nomenklatur," kata Muzani.
"Ya, mungkin revisi itu dimungkinkan," imbuhnya. (**/red)